Wednesday, 17 July 2013

Indonesia Tenggelam Kemunafikan



Berabad silam ketika peradaban eropa belum mencapai puncaknya Ibnu Khaldun telah meneliti tentang gerak suatu  perdaban dimana peradaban itu muncul berkembang hingga hancurnya  melalui berbagai tahapan dimana tahapan tersebut meliputi rekonsiliasi peradaban melalui kontrak sosial antar masyarakat  yang di barengi dengan rekontruksi persatuan kemudian melangkah maju  dalam persatuan hingga muncul kediktatoran yang menyebabkan kemunduran dan akhirnya menghilangkan peradaban yang diakibatkan hilangnya rasa kepercayaan yang telah dipupuk sejak kontrak sosial antar masyarakat tersebut dicetuskan.
Hal ini banyak terjadi di berbagai belahan dunia saat ini, Arab Spring misalnya. Berakhirnya perang dunia kedua menciptakan berbagai kontrak sosial di negara-negara arab, yang percaya bahwa melaui kebersamaan dan sistem ketatanegaraan yang dibangunnya secara bersama pasca perang, akan membawa negara kedalam equilibrium. Namun sejalan dengan perkembangannya, kemunculan diktaktor hingga banyaknya korupsi  ditubuh pemerintah dalam negara, pada akhirnya memunculkan gerakan-gerakan anti pemerintah.  Sehingga ke utuhan kontrak sosial mulai terganggu dan menghasilkan konflik hingga terjadi pengulingan rezim. Yang timbul akibat ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah.
Bercermin pada masa lalu, upaya persuasif pernah diupayakan  oleh rakyat Indonesia dalam rangka menciptakan kehidupan negara kearah yang lebih baik. Upaya perubahan dilakukan oleh rakyat Indonesia melalui jalan Reformasi dengan mengangkat kembali Kontrak Sosial yang dahulu di agungkan sebagai cara untuk membawa Indonesia menuju kemakmuran.
Namun ketika Reformasi bergulir, setelah gerakan ini berhasil mengulingkan rezim yang dinilai telah salah membawa negara dan telah melampaui batas dalam mengatur pemerintahan.  Rakyat Indonesia mulai dihadapkan kembali dengan luka masa lalu. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme kian terang-terangan  dinampakkan dalam layar kaca hingga banyak dari rakyat mulai merasa jenuh dan kian berandai-andai dalam ketidak pastian hidup akan kemana negara membawa mereka.
Tokoh nasional yang diharapkan akan membawa mereka kearah lebih baik tidak pernah membawa mereka kearah kebaikan, dan justru menampakan perselisihan serta persekongkolan yang digunakan untuk memperkaya diri mereka sendiri. Hukum yang diharapkan membawa keadilan seakan buta dan tidak mampu membawa keadilan atas vonis-vonis yang dilakukan pada penghinat persatuan negara. Hal ini di perparah dengan ketidak kondusifan kehidupan politik di negeri ini, Politik saling menjatuhkan yang pernah dilakukan oleh parpol di era awal orde baru di tahun 1970-an mulai terulang.  Saling jerat kesalahan, memperburuk citra parpol saingan hingga saling klaim atas kebaikan masing-masing parpol menambah bingung keadaaan rakyat.
Rakyat semakin terbebani  oleh berbagai permasalahan, kebutuhan pokok  berupa kesejahteraan ekonomi tidak kunjung tiba, ketidak percayaan akan pimpinan (pemerintah) meraja lela. Rakyat hanya dapat menahan amarah terdiam tegun menghadapi permasalahannya. Bagai bom waktu rakyat menunggu guncangannya. Bukan upaya persuasif dengan mengankat tangan menuntut di kembalikannya nafas negara  sesuai tujuannya. Namun tuntutan baru atas  bagaimana cara  negara membawa mereka kearah kesejahteraan yang diharapkannya.
Yusril Izamahendra pernah berkata didalam Indonesia Lawyer Club TV. One, tentang bagaimana negara yang baik membangun kehidupannya. Ketika negara dipimpin oleh individu yangbaik yang menciptakan lingkungan hukum yang baik maka orang yang didalamnya akan di paksa menjadi baik begitu juga dengan sistem atau lingkungan yang tidak baik maka orang yang didalamnya akan terpaksa menjadi tidak baik. Ia membandingkan dengan negara tetangga kita Singapura disaat orang indonesia datang ke Singapura maka orang Indonesia terpaksa menjadi baik  begitu sebaliknya ketika warga Singapura datang ke batam wilayah Indonesia maka iapun akan berprilaku sebagaimana orang di Indonesia.
Bom waktu tidak akan pernah menyala ketika rakyat menemui harapannya. Kepemimpinan bersih yang berhasil membawa kesejahteraan bagi mereka hanya muncul ketika ketegasan akan menajemen benar-benar terlaksana dan mengarah kepada kemajuan negara. Hingga akhirnya kepercayaan rakyat tidak pernah goyah dan menjadi kekuatan bagi negara untuk tetap eksis dengan cita-citanya.
Masa lalu mencatat, banyak asas di upayakan untuk mengokohkan kedaulatan rakyat melalui negaranya. Paham Nasionalis, Islamis hingga Sosialis pernah di upayakan dalam negara ini melalui para pengeraknya. Namun Pancasila dapat mempertahankannya hingga saat ini,  68 tahun sudah kontrak sosial yang pertama kali dicetuskan membawa Indonesia di alamnya. Dengan hanya menjadi pajangan berhala di tengah keong raksasa dan tidak pernah menampakan kesaktiannya. Kesaktian pancasila tidak pernah menjadi kekuatan dalam bernegara, hingga upaya mengalakan kehidupan negara dengan berpancasila  harus benar-benar dilakukan oleh rakyatnya.
Bukan terdiam dalam kemunafikan,  rakyat tertegun menjadi penonton kesakitan pancasila yang terkurung  dalam kemunafikan manajerial  ketidak sesuaian harapan awal cita-cita kehidupannya di tengah keong raksasa.  Pancasila bukanlah berhala ditengah kemunafikan sang penguasa, namun merupakan jiwa yang harus dihidupkan rakyatnya. Rakyat harus benar-benar menjadi pengontrol dirinya, dengan bermanunggal dalam berbineka. Karena oleh adanya rakyatlah negara ini tercipta.  Wakil rakyat bukan pengambil keputusan utama dalam setiap konsep penuh retorika. Namun rakyatlah yang harus bersua dan bergerak ketika terjadi kesalahan dalam kepemimpinan yang telah salah dalam membawanya.


 

No comments:

Post a Comment