Masjid Tomu
Namun ketika dipaparkan sembilan kerajaan Muslim Papua Seperti : Kerajaan Waigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salawati, Kerajaan Sailolof, Kerajaan Fatagar, Kerajaan Rumbati yang terdiri dari (Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertular), Kerajaan Kowiai /Namatota, Kerajaan Aiduma dan Kerajaan Kaimana. Masyarakat akan bertanya-tanya apakah benar di Papua ada kerajaan-kerajaan muslim? Sejak kapan muslim masuk wilayah Papua? Dana bagaimana keadaan muslim papua saat ini ?
Berdasarakan sumber tradisi lisan dari keturunan-keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fak-fak, Kaimana dan Teluk Bintuni-Manokwari. Islam masuk ke tanah papua jauh sebeklm agama lain masuk kewilayah ini. Dipercaya Islam masuk ke wilayah Papua sejak pertengahan abad ke- 15 M ditandai dengan datanganya Mubaligh asal Aceh yang bernama Abdul Gafar pada tahun 1360 M yang berdakwah selama 14 tahun hingga ia wafat ditahun 1374 M yang kemudian dimakamkan di belakang masjid Kampung Rumbati tahun 1374 M.
Namun
yang menjadi kepercayaan umum, kehadiran Islam di tanah Papua dipengaruhi oleh
keberadaan jalur perdagangan rempah-rempah dari wilayah Indonesia-Timur hingga
kebelahan dunia barat dan juga dipengaruhi dengan adanya eksistensi keberadaan
Kerajaan Islam Ternate, Tidore dan Bacan
di barat pulau papua yang menyebarkan Islam ke wilayah Papua kehususnya wilayah pesisir
bagian barat pulau Papua pada perengahan abad ke-15. Membicarakan sejarah
panjang Islam Papua tidaklah cukup untuk diceritakan dalam satu atau dua buku
karena sedikitnya sumber tertulis yang menceritakannya.
Menginat perjalanan saya ke tanah Muslim Papua
khususnya wilayah Kabupaten Teluk Bintuni bagian Utara terhitung sejak akhir Januari
hingga akhir Februari 2015, Begitu mengagumkan memang ketika saya pertama
kali menginjakan kaki di tanah ini, dengan keadaan iklim yang tidak begitu panas, langit biru yang begitu cerah, tak ada
lalu-lalang kendaraan dengan asap kenalpotnya, hingga hutan Bakau begitu asri
dan luas hingga diakui dunia pada
pertengahan bulan Februari 2015 lalu, hasil panen udang begitu berlimpah
sepanjang tahunnya, dan keramahan warga asli Papua dalam menerima tamunya.
Merupakan kenangan yang tak terlupakan
bagi saya.
Satu
kalimat yang tertanam di dalam benak saya dan terkenang hingga saat ini. Ketika salah seorang penduduk asli Papua mengatakan
bahwa masyarakat Papua secara Philosofis
dapat dikatakan layaknya sebuah pohon sagu yang berduri dan kasar namun dibalik kasarnya pohon terdapat halusnya sagu
yang begitu lembut. Keramahan masyarakat
Papua muslim dalam menerima tamu merupakan pengalaman pertama yang saya
dapatkan di tengah masyarakat asli Papua.
Dalam
dunia pendidikan Islam, begitu jarang ditemui sekolah berbasis Islam di wilayah
ini. Selain Perguruan Muhammadiyah Bintuni yang membuka jenjang Pendidikan TK
Hingga SMA sejak tahun 1974. Usia yang cukup lama bagi Muhammadiyah dalam
menerapkan amal usahanya di wilayah Bintuni. Keterbatasan jarak antar kota yang
begitu jauh dan minimnya sarana pendidikan islam merupakan salah satu alasan yang
menghambat pembangunan pradaban Islam, meskipun secara historis sudah sejak
lama Islam hadir di wilayah ini.
Masjid Babul Jannah Taroi, Tomu Teluk Bintuni
Keberadaan
Masjid merupakan bukti adanya geliat muslim di wilayah Papua Barat, setidaknya
dalam perjalanan ini saya menghampiri
tiga distrik yang dua diantara dihuni oleh mayoritas penduduk yang beragama muslim dan satu
distrik yang jumlah muslimnya sudah jauh berkurang. Di antara ketiga distrik
tersebuat antara lain adalah : Distrik Tomu, Distrik Weriagar dan Distrik
kamundan.
Begitu
senang hati ini, ketika satu persatu distrik saya hampiri. Terdapat bangunan Masjid yang berdiri, suatu
pemandangan yang menyejukan hati. Pemandangan masjid cukuplah mencolok mata
karena bangunan masjid amatlah berbeda dengan bangunan yang ada disekitarnya. Bangunan
masjid yang saya temui tidaklah berbeda dengan masjid-masjid yang ada di jawa
dengan atap tumpang dan mimbar kayu
dengan ukiran bercampur kaligrafi
Islam sederhana yang menghiasasi beberapa bagiannya.
Namun
setelah beberapa saat tinggal di pesisir Utara Teluk Bintuni ini, saya rasakan
keadaan yang cukup berbeda. Meski bangunan masjid begitu kokoh, Jumlah populasi
muslim di tiga distrik disana yang dua
diataranya merupakan penduduk yang mayoritas beragama muslim amat berbalik
keadaan dengan jumlah jamaah pada setiap ibadah sholat Jumat dilaksanakan.
Kaderisasi Islam yang tidak begitu berjalan dengan baik menyisakan sepinya masjid-masjid. Ditambah kurangnya ustad yang dapat
memberikan pengajaran tentang Islam.
Setidaknya
ada upaya-upaya dilakukan oleh organisasi-organisasi islam mengirim para guru
agama kewilayah terpencil seperti tiga distrik yang saya kunjungi ini. Namun
ketidak berlanjutan pengiriman mengakibatkan terputusnya upaya penguatan dakwah
islam di kalangan masyarakat muslim Papua. Hal ini disampaiakan salah satu
penduduk ketika ia menceritakan bagaimana peranan ustad amat dibutuhkan, ketika
ustad ada masjid akan ramai dan makmur dengan kegiatan, namun ketika ustad
pulang dan tidak ada penggantinya masjidpun akan kembali sepi.
Saya dengan Bapak Kaitam.
Padahal
begitu sedihnya ketika saya bertemu
bapak Kaitam seorang pria tua yang mengaku umurnya 115th, asal distrik Tomu, menceritakan dengan
jelas bagaimana perjuangan ia mempelajari islam dimasa lalu, sambil berbincang
sambil mendengarkan pembacaan Rawi Barjanji yang di nyanyikannya begitu merdu dengan
suara khas muslim Papua. Allahuma Sholi wa Salim wa Barik Alaih...
Ia menceritakan bagaimana harus ia belajar Islam dengan menjual hasil bumi berupa sagu untuk berangkat ke Fak-fak lalu kemudian pulang kekampung halamannya membawa ilmu yang didapatnya. Dalam bahasa Indonesia kurang pasih beliau mengungkapkan saya pergi membeli Bismillah ke Fak-fak.. dan pulang membawa ilmu tetang Islam. Cerita, Busron Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makasar yang harus rela menjadi pendakwah melebihi lama tugas yang diberikan dari kampusnya. di distrik Kalitami, Teluk Bintuni. Semangat mendakwahkan penguatan akidah ditengah masyarakat Islam begitu besar saya rasakan, bagaimana ia mulai
Ia menceritakan bagaimana harus ia belajar Islam dengan menjual hasil bumi berupa sagu untuk berangkat ke Fak-fak lalu kemudian pulang kekampung halamannya membawa ilmu yang didapatnya. Dalam bahasa Indonesia kurang pasih beliau mengungkapkan saya pergi membeli Bismillah ke Fak-fak.. dan pulang membawa ilmu tetang Islam. Cerita, Busron Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makasar yang harus rela menjadi pendakwah melebihi lama tugas yang diberikan dari kampusnya. di distrik Kalitami, Teluk Bintuni. Semangat mendakwahkan penguatan akidah ditengah masyarakat Islam begitu besar saya rasakan, bagaimana ia mulai
Bapak Kaitam dengan Cicitnya.
Menguatkan simbol Islam yang mulai pudar. Dari
mulai pemakaian hijab sebagai simbol muslimah,
Memakmurkan kegiatan Masjid, hingga pengajaran Islam usia dini dan pengajian
kitab Riadussalihin ba’da sholat. hal ini saya rasa amat di perlukan melihat sejarah panjang melampaui kedatangan bangsa Eropa ke negeri Islam di Ujung timur Indonesia ini. Kesadaran umat yang harus ditingkatkan secara konsisiten dan tidak terputus bagi semua ummat Islam dimana pun berada.
Setidaknya tidak hanya utusan Muhammadiyah melalui Universita Muhammadiyah Makasar tetapi juga ada kiriman ustadz dari Nahdlatul Ulama dan AFKN yang secara berkala datang menjadi Imam di masjid-masjid disana.
Namun demikian pembangunan madrasah yang begitu sedikit dan hampir tidak ada sebagai
sarana pendidikan penguat akidah Islam yang saya rasakan haruslah disegerakan
mengingat akidah Islam yang mulai tergerus zaman di wilayah ini. Sayangnya
pertemuan saya dengan masyarakat muslim Teluk Bintuni Utara amatlah singkat
tidak banyak yang saya bisa ceritakan tentang bagaimana kedaan muslim yang
mayoritas disana setidaknya ini merupakan sedikit catatan yang bisa saya
sampaikan. Agar masyarakat dunia muslim lebih memperhatikan akidah saudara
semuslim di bagian timur Indonesia.
No comments:
Post a Comment