Tuesday 4 August 2015

Menengok Cahaya Islam di Teluk Bintuni Utara, /Minoritas Muslim Papua




 Masjid Tomu

Membicarakan Papua Barat, pada umumnya masyarakat akan menyebutkan Sorong sebagai kota  besar yang ada di bagian barat Pulau Papua wilayah Indonesia meskipun Manokwari sebagai Ibu kota  Provinsinya dan Fak-fak sebagai kabupaten yang di dominasi penduduk yang beragama Islam, maklum adanya  Papua terkenal dengan wilayah Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Kristiani. 
                                       
Namun ketika dipaparkan sembilan kerajaan Muslim Papua Seperti : Kerajaan Waigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salawati, Kerajaan Sailolof, Kerajaan Fatagar, Kerajaan Rumbati yang terdiri dari (Kerajaan  Atiati,  Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertular),  Kerajaan Kowiai /Namatota, Kerajaan Aiduma dan Kerajaan Kaimana. Masyarakat akan bertanya-tanya apakah benar di Papua ada kerajaan-kerajaan muslim? Sejak kapan muslim masuk wilayah Papua? Dana bagaimana keadaan muslim papua saat ini ?

Berdasarakan sumber tradisi lisan dari keturunan-keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fak-fak, Kaimana dan Teluk Bintuni-Manokwari. Islam masuk ke tanah papua jauh sebeklm agama lain masuk kewilayah ini.  Dipercaya Islam masuk ke wilayah Papua sejak pertengahan abad ke- 15 M ditandai dengan  datanganya Mubaligh asal Aceh yang bernama Abdul Gafar pada tahun 1360 M yang berdakwah selama 14 tahun hingga ia wafat ditahun 1374 M  yang kemudian dimakamkan di belakang masjid Kampung Rumbati tahun 1374 M.

Namun yang menjadi kepercayaan umum, kehadiran Islam di tanah Papua dipengaruhi oleh keberadaan jalur perdagangan rempah-rempah dari wilayah Indonesia-Timur hingga kebelahan dunia barat dan juga dipengaruhi dengan adanya eksistensi keberadaan Kerajaan Islam Ternate, Tidore dan Bacan  di barat pulau papua yang menyebarkan Islam  ke wilayah Papua kehususnya wilayah pesisir bagian barat pulau Papua pada perengahan abad ke-15. Membicarakan sejarah panjang Islam Papua tidaklah cukup untuk diceritakan dalam satu atau dua buku karena sedikitnya sumber tertulis yang menceritakannya.

Menginat perjalanan saya ke tanah Muslim Papua khususnya wilayah Kabupaten Teluk Bintuni bagian Utara terhitung sejak akhir Januari hingga akhir Februari 2015, Begitu mengagumkan memang ketika saya pertama kali menginjakan kaki di tanah ini, dengan keadaan iklim yang tidak begitu panas,  langit biru yang begitu cerah, tak ada lalu-lalang kendaraan dengan asap kenalpotnya, hingga hutan Bakau begitu asri dan luas hingga diakui dunia  pada pertengahan bulan Februari 2015 lalu, hasil panen udang begitu berlimpah sepanjang tahunnya, dan keramahan warga asli Papua dalam menerima tamunya. Merupakan  kenangan yang tak terlupakan bagi saya.

Satu kalimat yang tertanam di dalam benak saya dan terkenang hingga saat ini.  Ketika salah seorang penduduk asli Papua mengatakan bahwa masyarakat Papua secara Philosofis  dapat dikatakan layaknya sebuah pohon sagu yang berduri dan kasar namun  dibalik kasarnya pohon terdapat halusnya sagu yang begitu lembut.  Keramahan masyarakat Papua muslim dalam menerima tamu merupakan pengalaman pertama yang saya dapatkan di tengah masyarakat asli Papua.

Dalam dunia pendidikan Islam, begitu jarang ditemui sekolah berbasis Islam di wilayah ini. Selain Perguruan Muhammadiyah Bintuni yang membuka jenjang Pendidikan TK Hingga SMA sejak tahun 1974. Usia yang cukup lama bagi Muhammadiyah dalam menerapkan amal usahanya di wilayah Bintuni. Keterbatasan jarak antar kota yang begitu jauh dan minimnya sarana pendidikan islam merupakan salah satu alasan yang menghambat pembangunan pradaban Islam, meskipun secara historis sudah sejak lama Islam hadir di wilayah ini.

   Masjid Babul Jannah Taroi, Tomu Teluk Bintuni

Keberadaan Masjid merupakan bukti adanya geliat muslim di wilayah Papua Barat, setidaknya dalam perjalanan  ini saya menghampiri tiga distrik yang dua diantara dihuni oleh mayoritas  penduduk yang beragama muslim dan satu distrik yang jumlah muslimnya sudah jauh berkurang. Di antara ketiga distrik tersebuat antara lain adalah : Distrik Tomu, Distrik Weriagar dan Distrik kamundan.

Begitu senang hati ini, ketika satu persatu distrik saya hampiri. Terdapat  bangunan Masjid yang berdiri, suatu pemandangan yang menyejukan hati. Pemandangan masjid cukuplah mencolok mata karena bangunan masjid amatlah berbeda dengan bangunan yang ada disekitarnya. Bangunan masjid yang saya temui tidaklah berbeda dengan masjid-masjid yang ada di jawa dengan atap tumpang dan mimbar kayu  dengan ukiran  bercampur kaligrafi Islam sederhana yang menghiasasi beberapa bagiannya.

Namun setelah beberapa saat tinggal di pesisir Utara Teluk Bintuni ini, saya rasakan keadaan yang cukup berbeda. Meski bangunan masjid begitu kokoh, Jumlah populasi muslim di tiga distrik disana  yang dua diataranya merupakan penduduk yang mayoritas beragama muslim amat berbalik keadaan dengan jumlah jamaah pada setiap ibadah sholat Jumat dilaksanakan. Kaderisasi Islam yang tidak begitu berjalan dengan baik menyisakan sepinya masjid-masjid.  Ditambah kurangnya ustad yang dapat memberikan pengajaran tentang  Islam.

Setidaknya ada upaya-upaya dilakukan oleh organisasi-organisasi islam mengirim para guru agama kewilayah terpencil seperti tiga distrik yang saya kunjungi ini. Namun ketidak berlanjutan pengiriman mengakibatkan terputusnya upaya penguatan dakwah islam di kalangan masyarakat muslim Papua. Hal ini disampaiakan salah satu penduduk ketika ia menceritakan bagaimana peranan ustad amat dibutuhkan, ketika ustad ada masjid akan ramai dan makmur dengan kegiatan, namun ketika ustad pulang dan tidak ada penggantinya masjidpun akan kembali sepi. 


Saya dengan Bapak Kaitam.

Padahal begitu sedihnya ketika  saya bertemu bapak Kaitam seorang pria tua yang mengaku umurnya 115th, asal distrik Tomu, menceritakan dengan jelas bagaimana perjuangan ia mempelajari islam dimasa lalu, sambil berbincang sambil mendengarkan pembacaan Rawi Barjanji yang di nyanyikannya begitu merdu dengan suara khas muslim Papua.  Allahuma Sholi wa Salim wa Barik Alaih...

  Ia menceritakan bagaimana harus ia belajar Islam dengan menjual hasil bumi berupa sagu untuk berangkat ke Fak-fak lalu kemudian pulang kekampung halamannya membawa ilmu yang didapatnya. Dalam bahasa Indonesia kurang pasih beliau mengungkapkan saya pergi membeli Bismillah ke Fak-fak.. dan pulang membawa ilmu tetang Islam. Cerita, Busron Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makasar yang harus rela menjadi pendakwah melebihi lama tugas yang diberikan dari kampusnya. di distrik Kalitami, Teluk Bintuni. Semangat mendakwahkan penguatan akidah  ditengah masyarakat Islam begitu besar saya rasakan, bagaimana ia mulai


Bapak Kaitam dengan Cicitnya.

Menguatkan simbol Islam yang mulai pudar. Dari mulai  pemakaian hijab sebagai simbol muslimah, Memakmurkan kegiatan Masjid, hingga pengajaran Islam usia dini dan pengajian kitab  Riadussalihin ba’da sholat. hal ini saya rasa amat di perlukan melihat sejarah panjang melampaui kedatangan bangsa Eropa ke negeri Islam di Ujung timur Indonesia ini. Kesadaran umat yang harus ditingkatkan secara konsisiten dan tidak terputus bagi semua ummat Islam dimana pun berada.

Setidaknya tidak hanya utusan Muhammadiyah melalui Universita Muhammadiyah Makasar tetapi juga ada kiriman ustadz dari Nahdlatul Ulama dan AFKN yang secara berkala datang menjadi Imam di masjid-masjid disana.

Namun demikian pembangunan madrasah yang begitu sedikit dan hampir tidak ada sebagai sarana pendidikan penguat akidah Islam yang saya rasakan haruslah disegerakan mengingat akidah Islam yang mulai tergerus zaman di wilayah ini. Sayangnya pertemuan saya dengan masyarakat muslim Teluk Bintuni Utara amatlah singkat tidak banyak yang saya bisa ceritakan tentang bagaimana kedaan muslim yang mayoritas disana setidaknya ini merupakan sedikit catatan yang bisa saya sampaikan. Agar masyarakat dunia muslim lebih memperhatikan akidah saudara semuslim di bagian timur Indonesia.





















No comments:

Post a Comment