Monday, 26 September 2016

AKHIR MASA KESULTANAN JAMBI

Keberhasilan Sultan Agung Sri Ingalogo mengusir Belanda melalui Verenigde Ooost Indische Compagnie nya (VOC) ditahun 1742, mengukuhkan Kesultanan Jambi sebagai kesultanan merdeka yang bebas mengatur tata kelola pemerintahannya dengan bebas. Kekusaan VOC yang hanya mewariskan wilayah Palembang diwilayah sumatera ke pemerintahan baru setelah kebangkrutannya di tahun 1799. Palembang dengan sisa kekuatannya masih melakukan perlawanan hingga tahun 1825. 
Dimasa-masa perlawanan Kesultanan Palembang terhadap kekuasaan  Netherlansche-Indische (Hindia Belanda) sebelum kejatuhannya. Kesultanan Palembang membentuk jaringan-jaringan kepada negara tetangganya,  Salah satunya adalah melakukan hubungan dengan  Raden Denting/Sultan Mahmud Muhidin/Sultan Agung Sri Ingalogo ditahun 1813-1833 untuk membantu Palembang melawan kekuasaan Hindia-Belanda di Kesultanan Palembang. 
Masa peralihan kekuasaan yang terjadi ditahun 1833 saat Sultan Agung Sri Ingalongo digantikan oleh Sultan Muhammad Facruddin. Sultan Muhammad Facrudin (Sultan Keramat) Masih melanjutkan perjuangan Sultan sebelumnya yang tidak bersikap akomodatif pada Belanda. Hal ini dibuktikan dengan dukungan sultan terhadap para bangsawan Palembang yang menentang kebijakan pemerintahan Belanda di Palembang.
Perbantuan yang dilakukan sultan terhadap perlawanan bangsawan Palembang menyebabkan Hindia-Belanda geram, dan akhirnya pemerintah Hindia-Belanda mengirimkan Letnan Kolonel Micheil Untuk memblokade sungai dan daerah Serolangun dan mendesak pasukan Sultan Keramat hingga daerah Sungai Baung dan Dusun Tembesi.  terdesaknya pasukan Sultan Keramat menyebabkan Sultan terpaksa menandatangi perjajian  yang isinya menyatakan bahwa Jambi dibawah kekuasaan Belanda pada 14 Nopember 1833 dan perjanjian tambahan yang ditanda tangani 15 Desember 1833.
Lima Belas tahun dikuasai Belanda, pada masa pemerintahan Sultan Taha Syarifuddin, Kesultanan Jambi mulai melakukan Pemberontakan dengan tidak mengakui kekuasaan Belanda atas Jambi. sehingga pada tahun 1858 Sultan Taha dipaksa meletakan Jabatan setelah Belanda menguasai Keranton Jambi di bawah Pimpinan Mayor Van Legen. 
Didudukinya Keranton Jambi, Memaksa Sultan Taha Syarifuddin keluar keraton dan mengatur pemerintahannya di daerah Uluan. Meski demikian Sultan Taha dimakzulkan oleh Pemerintah Belanda dan mengankat Raden Ahmad  dengan Gelar Sultan Ahmad Nazzarudin menjadi Sultan Jambi pada 2 Nopember 1858, Tetapi kekusaan Sultan Ahmad Nazzarudin tidak diakui rakyat, dan lebih meyakini Sultan Taha sebagai sultan yang sah karena pengangkatannya yang sah dan masih memegang keris pusaka Kesultanan Jambi Keris Siginjai. Kesultanan Jambi mulai mengalami kemunduran dibawah Sultan Ahmad Nazzarudin, Sultan dipaksa menanda tangani perjanjian  Desember 1858. dan kemudian dilanjutkan perjajian cukai dan hak monopoli Belanda  pada 13 Juli 1880. pada masa selanjutnya Belanda mengadakan perjanjian saat kesultannan Jambi dibawah Sultan Muhammad Mahliludin1881-1885, pada 22 Mei 1882. yang isinya mengenai kuasa Belanda terhadap penguasaan Jambi, dari mulai pengaturan  penduduk dan juga masalah sumberdaya mineral. 
Sultan Mahliludin yang mangkat pada10 April 1855 digantikan Sultan Ahmad Zainuddin, yang pada masa pemerintahannya mengangkat Putra Ketiga Sultan Muhammad Taha yang masih berusia 4 tahun  sebagai Pangeran Anom Kusumayudha pada Juli 1855. Pengangkatan Pangeran Anom ini menandakan perdamaian antara Bangsawan di Kesultanan Jambi yang dahulunya pernah berpisah akibat interpensi Belanda, dengan sikap ini pada akhirnya keris pusaka yang dipengang Sultan Taha diberikan kepada Sultan Ahmad Zainuddin yang pada akhirnya Kesultanan Jambi tidak lagi memiliki pemerintahan yang terpecah antara pemerintahan Uluan dan Kesultanan Jambi ciptaan Belanda. 
Dengan Kekuasaan yang absolut, Belanda memaksa Sultan Ahmad Zainudin untuk menanda tangani perjanjian pada tanggal 28 Mei 1888, yang mengakibatkan konflik ditengah bangsawan Jambi. Pangeran Marta Jayakusumah, Pangeran Natamenggala yang masing-masing memiliki tangung jawab diputar balikkan tanggungjawabnya. Pada 1 Nopember 1890 di Uluan terjadi pemberotakan terhadap Belanda oleh Pangeran Diponogoro dan Pangeran Husin dengan meminta Cukai terhadap barang dagangan yang dahulunya berdasarkan perjanjian dikausai Belanda. 
Pemungutan Cukai ini merembet pada perlawanan dibawah pimpinan Sultan Muhammad Taha yang masih memiliki pengaruh ditengah masyarakat Hingga pada tahun 1891 terbunuhlah Kontrolir Belanda yang  bernama Van Laar dan pada tahun 1895 Pimpinan Militer Belanda di Jambi juga ikut terbunuh.
Dengan terbunuhnya pimpinan Belanda di Jambi, Belanda melakukan tekanan terhadap Sultan Ahmad Zainudin, sehingga akhirnya Sultan Ahmad Zainuddin memakzulkan diri pada Desember 1899 dan mendapat bantuan sebesar Rp. 4000 dari Belanda. ditengah kekosongan pemerintahan dan konflik yang berkepanjangan antar bangsawan Jambi untuk menentukan siapa penganti Sultan Ahmad Zainudin. Pada akhirnya Kesultanan Jambi diserahkan kuasanya kepada Hindia-Belanda pada 27 Februari 1901. Penyerahan ini diterima oleh Residen Palembang I.A. Van Rynvan Alkemade yang menandakan berakhirnya Kesultanan Jambi. 

Source : 
Sejarah Sosial Jambi : Jambi Sebagai Kota Dagang,  Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumntasi Sejarah Nasional Jakarta, 1984. 

KESULTANAN JAMBI MASA GENGGAMAN VOC

Sungai Batang Hari merupakan sungai yang terkenal diwilayah Jambi, sungai ini merupakan sungai yang bermuara di selat Pulau Berhala yang berbatasan dengan Selat Malaka. Selat Malaka merupakan selat yang sejak dahulu merupaka selat yang ramai dikunjungi oleh para pelaut dan saudagar yang menghubungkan daerah timur seperti Cina dan Wilayah Barat seperti, India, Timur Tengah, Afrika dan juga Eropa.
Hal ini telah dicatat oleh seorang Pendeta Budha yang terkenal dengan catatan perjalanannya I-tsing. yang mana catatan perjalanannya menceritakan bagaimana bandar-bandar di selat malaka begitu ramai dengan para pelaut dan saudagar yang berdatangan dari wilayah India, Arab dan Cina. Salah satu pelabuhan yang ramai adalah pelabuhan Melayu Jambi yang terletak di aliran sungai Batang hari yang bermuara di selat pulau berhala dan selat malaka. disepanjang selat malaka tumbuh kota-kota yang kaya, Pelabuhan melayu Jambi menjadi titik destinasi pelabuhan transito yang ramai bagi para pelaut dan saudagar yang menunggu datangnya musim angin baik ketimur maupun kebarat, pelabuhan melayu Jambi menjadi pelabuhan yang memegang kunci pelayaran dimasanya.
Pada masanya kemampuan pelaut Melayu begitu terkenal hal ini yang menyebabkan bangsa melayu bertemu dengan berbagai macam pedabadan yang mendukung suatu transformasi kultural dari yang bersifat kesukuan mengarah pada suatu formasi kekuasaan yang terbentuk dalam suabuah kerajaan, hal ini juga terbentuk diwilayah Jambo, khususnya kerajaan islam yang terbentuk dalam kesultanan Jambi.
Secara historis Jambi memulai era kesultanan sejak tahun 1500-1515, yang ditandai dengan masuknya raja kerajaan Jambi keagama Islam pada masa pemerintahan orang Kayo Hitam, yang merubuah struktur kerajaan  dan memberi maklumat agar penduduk Jambi juga memeluk agama Islam. Perubahan penyebutan raja dari "Panembahan" menjadi "Sultan".
Pemerintahan diatur dalam Undang-undang yang dibernama "Pucuk Undang nan Delapan". dimana dalam undang-undang tersebut memadukan antara adat dan syariat islam dalam peengaturan ketatanegaraan. hal ini tercermin dalam suatu pepatah yang terkenal ditengah masyarakat Jambi. dimana disebutkan dalam bahasa lokal : Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah. dengan demikian dapat diartikan begitu kentalnya hubungan antara adat dan syariat islam. pada masa-masa inilah muncul kekuatan ulama sebagai pemangku kehidupan beragama.
Pertemuan dengan Belanda terjadi di tahun 1615, setelah Jambi secara resmi  melaui maklumat Sultan Kedak (Sultan Abdul Kahar 1915-1943) yang mendeklarasikan wilayahnya sebagai satu kesatuan yang berbentuk kesultanan. Rombongan Belanda pertama kali datang ke Kesultanan Jambi dipimpin oleh Abraham Strek dengan membawa dua kapal Belanda yang bernama Wapen Amsterdam dan Middelburg. Abraham Strek kemudian meminta izin untuk mendirikan kantor dagang pada tahun yang sama, satu tahun setelah pertemuannya barulah ia mendirikan kantor dagang, dan kemudian berdasarkan izin yang diperoleh perwakilan Belanda mendapatkan izin untuk mendirikan kantor dagang VOC diwilayah Muara Kumpeh. 
Dikarenakan sulitnya mendapat kayu dan lada dari masyarakat, kemudian VOC menutup kantor daganganya ditahun 1625 dan kemudian membukanya kembali ditahun 1936. pembukaan ini tidaklah tanpa penyebab. Dengan sikapnya yang ingin menguasai Jambi, Belanda ingin mengambil kesempatan dengan memanfaatkan perselisihan antara kesultanan Jambi dengan Kesultanan Johor.  pada fase kedua ini kntor dagang VOC di Jambi dipimpin oleh Hendrik van Gont, yang pada tahun 1642, melancarkan kegaiatan politik adu domba dengan mynatakan bahwa Sultan Jambi melakukan hubungan terhadap Sultan Agung dari Mataram. Oleh karena Sultan agung adalah musuh VOC maka VOC akan mengangkat senjata terhadap Kesultanan Jambi masa itu kantor dagang Belanda di Jambi dipimpin oleh Antonie van Diemen. 
Dimasa pemerintahan Sultan Agung (Sultan Abdul Jalil) terpaksa melakukan kerjasama dengan Belanda dibawah pimpinan Anries Dogart Ploeg dtahun 1943. Pada masa selanjutnya ditengah perselisihan antara Jambi-Johor, Jambi membutuhkan bantuan, terjalinlah kerjasama antara Kesultanan Jambi dengan Belanda melaui VOC. kerjasama ini tidak hanya dibidang perdagangan tetapi juga terjalin dalam bidang pemerintahan, hal ini yang menyebabakan turut campurnya VOC dalam pemerintahan kesultanan Jambi. Pecahnya perang antara Jambi-Johor terjadi ditahun 1667, Jambi mengalami kemenangan atas bantuan VOC. maka dari itu VOC melalui konsul dagangnya yang dipimpin oleh Sybrand Swart, meminta imbalan atas bantuan yang telah diberikan tersebut. 
Namun Sultan Jambi yang saat itu dipimpin oleh Sultan Abdul Mahji yang terkenal dengan Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) melakukan penolakan dan menyerang kantor dagang Belanda dan berhasil membunuh Sybrand Swart, ketidak puasan Belanda ini berujung pada penangkapan sultan pada tahun 1690 dan sultan di buang ke Batavia. Seharusnya pengganti Sultan Ingalogo, adalah putra mahkotanya yaitu Raden Tyulip (Raden Julat). Namun dengan politiknya Belanda mengangkat Raden Dipati Cakra Negara Menjadi sultan dengan sebutan Kiai Gedeh. hal ini menyebabakan Raden Tyulip dan Kiai Singa Patih keluar dari Kerajaan dan melakukan hubungan dengan kerajaan Pagar Uyung. bantuan pagur uyung pada akhirnya berhasil membatu Raden Tyulip mendirikan pemerintahan dipengasingan, Raden Singa Tyulip  mendirikan pemerintahan di Mangunjayo dengan gelar Sunan Sri Maharaja Batu dan juga biasa disebut Sunan Suto Ingalogo. dan Saudaranya Kiai Singa Patih mendirikan pemerintahannya di Bukit Serpeh. dengan Gelar Sunan Abdurrahman.
Pada tahun 1740, terjadi perdamaian antara Sultan Sunan Suto Ingalogo dengan Kiai Gedeh namun pada kenyataannnya perdamaian yang diharapkan dan mengembalikan sultan Suto Ingalogo menjadi Sultan Jambi yang Sah malah membawa sultan Suto Ingalogo di tangkap belanda dan diasingkan ke Batavia. Kiai Gedeh, yang digantikan oleh Sunan Suto Ingalogo kembali memimpin Jambi hingga tahun 1740. dan digantikan Sultan Sri Ingalogo sebagai pewaris tahta dari Sunan Suto Ingalogo, Dua tahun dibawah kepemimpinannya Sri Ingalogo berhasil menutup kantor dagang VOC di Jambi. Kesultanan Jambi terus berkuasa sebagai kesultanan yang merdeka dan turut membantu Kesultanan Palembang dalam melawan Belanda. Hingga memasuki pertengah Abad ke-19 malapetaka itupun datang dan berhasil menjatuhkan pemerintahan Kesultanan Jambi dibawah kekuasaan Belanda.

Source :
Sejarah Sosial Jambi : Jambi Sebagai Kota Dagang,  Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumntasi Sejarah Nasional Jakarta, 1984.