Wednesday, 19 June 2013

Peran ICMI dalam Lahirnya Bank Syariah di Indonesia


            Politik Islam dan Islam Politik mengalami pasang surut di era kemerdekaan Indonesia, kebijakan pemerintah terhadap politik Islam amat nampak diera-era  baik dalam upaya kemerdekaan hingga era Orde Baru dimana pemerintah terlihat kurang mengkomodasi kepentinggan umat Islam yang mayoritas di Indonesia.
Hingga 1980-an hubungan Negara dengan Islam masih memperlihat sikap antagonistik namun yang tidak dapat diterima dalam logika kebencian yang telah terbangun sejak tahun 1965, dan dirasa mulai mendarah daging mulai mengalami perubahan di tahun-tahun terakhir dekade 1980-an. Di era orde baru dimana mulai tampak sikap pemerintah yang kurang mengakomodir kepentingan umat Islam secara jelas, dengan meniadakan Masyumi sebagai sebuah partai Islam, dilanjutkan dengan diberlakukannya asas tunggal pada tahun 1983.
 Namun memasuki tahun 1990-an perubahan mulai terasa perubahan sikap pemerintah kepada Islam menjadi lebih akomodatif, Hal ini  terbukti dengan lahirnya UU. No.10 tahun 1992 yang didalamnya terdapat ketentuan diperbolehkannya bank beroperasi dengan system bagi hasil.[1] Dari perubahan ini yang amat cepat hanya berselang dua tahun telah merubah sikap pemerintah yang anta gonistik kerah akomodatif.
Hal yang tampak jelas adalah dengan lahirnya Bank syariah, Sejarah mencatat dorongan yang kuat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) di akhir Orde Baru telah membuka pintu lebar-lebar bagi perkembangan ekonomi dan perbankan berbasis syariah di tanah air. Kita menyaksikan lahirnya baitul maal wat tamwil, yang digagas dan dikembangkan oleh ICMI, lahirnya Bank Muamalat Indonesia, dan berbagai lembaga keuangan syariah termasuk asuransi syariah, telah menjadi pemicu perkembangan ekonomi syariah di negeri kita.[2]  Yang sebernarnya jika di analisa secara cepat tidak memungkinkan mendirikan sebuah Bank yang berbau Islam, terlebih pada era-era sebelumnya dikatakan bahwa dengan menghadirkan Bank Syariah berdampak ideologis bagi Negara.
Namun demikian kehadiran Bank Syariah tidak semudah membalikan telapak tangan, hubungan pemerintah dengan dunia Islam amat berpengaruh terhadap lahirnya ekonomi syariah di era orde baru. Masalah masa lalu dan pancasila sebagai suatu ediologi nagara menjadi salah satu perdebatan penting. Disamping  konsep bank  syariah dari segi politis juga dianggap berkonotasi ideologis, merupakan bagian atau berkatan dengan Negara Islam, oleh karena itu tidak dikhendaki pemerintah “Orde Baru".[3] 

LAHIRNYA  IKATAN CENDIKIAWAN MUSLIM INDONESIA
A.      Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)
a.    Kebijakan Pemerintah terhadap Politik Islam
Pasang surut kekuatan politik Islam tidak lain tidak bukan merupakan suatu yang hadir akibat suatu kemelut politik yang diakibatkan oleh kebijakan penguasa. Maju mundurnya  dapat diartika sebagai kembang kempisnya akomodasi pemerintah terhadap dunia Islam.
Peranan Islam amat berpengaruh sejak awal orde baru, disamping kekuatan ABRI dan Mahasiswa. Dalam rangka mengeliminasi kekuatan Komunis. Pengharapan yang diinginkan kalangan Islam, agar dapat berbagi kekuasaan dalam pemerintahan, paling tidak demikian kira-kira kalau argument diteruskan pemerintah baru akan bersedia memperhatikan- untuk kemudian mengakomodasi –kepentingan social ekononmi dan politik islam.[4] Namun  tidak demikian, permasalahan yang utama dalam era awal Orde Baru dengan memunculkan Pemasalahan Birokrasi sebagai alat mengatasi permasalahan dalam rangka mereformasi ekonomi secara radikal, juga terlaksananya program pemerintah di seluruh wilayah negara agar berfungsi efektif dan fungsional serta tidak diselewengkan oleh aparat birokrasinya.
Oleh karenanaya orde baru berupaya menjauhkan Negara dari politik ideologis yang dapat menghambat kemajuan negara, dengan menggantinya kearah politik yang berorientasi kearah kedepan. Dengan memodrenisasi kebijakan politik.
Persoalan moderisasi mendapat respon baik oleh kalangan modernis pada era itu yang pernah menajabat sebagai fungsionaris partai Masyumi, denngan cara mengizinkan/ merehabilitasi kembali Masyumi berdiri kembali setelah dibubarkan oleh Soekarno. Namun upaya ini tidak berjalan dengan mulus dengan adanya keberatan dari pihak  ABRI dengan mengeluarkan pernyataan pada 12 Desember 1966, dengan pernyataan akan bertindak tegas terhadap siapapun, pihak manapun serta golongan manapun untuk menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Seperri tindakan PKI Darul Islam, dan Masyumi serta Partai Sosialis Indonesia.
Dengan pernyataan ini Masyumi, melaui Prawoto Mangkusaswito selaku tokoh Masyumi, menyatakan sikap agar tidak menyatunafasakan Masyumi dengan PKI dengan mengirim surat kepada Ketua Presidium Kabinet Jendral Suharto.[5] Surat ini tidak menadapat respon yang baik dengan balasan dari Soeharto, ini merupakan Statement pendirian  yang diambil ABRI,  namun demikian lobi-lobi dilakukan demi melicinkan jalan untuk merehabilitasi Masyumi dengan mendukung Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM). Dengan demikian Tokoh Masyumi mengajukan Pendirian Parmusi (Partai Muslimin Indonesia  pada 7 April 1967, pendirian partai ini di izinkan dengan catatan tokoh teras Masyumi tidak boleh menjadi fungsionaris partai. Dan barulah pada 20 Februari 1968 Parmusi dilegalkan sebagai sebuah partai.
Dengan upaya Repolitisasi Islam ini ternyata berdampak pada pemarjinalan  Islam di karenakan orientasinya terhadap pendirian partai Islam tidak seperti golongan diluar Islam yang mengambil kesepatan untuk merespon positif serta dukungan terhadap Orde Baru.
b.   Perkembangan Politik Islam
Dalam menanggapi kebijakan politik pemerintah, banyak jalan yang dilakukan baik secara politis maupun cara lain dalam rangka memajukan kepentingan Islam. Dekade 80-an merupakan era dimana Orde Baru berusaha secara ofensif dalam kebijakan politiknya dalam rangka penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kekuatan politik dan organisasi Masa. Kebijakan ini merupakan kulminasi dari serangkaian kebijakan politik yang dilakukan perintah dalam kurun  waktu 1966-1985.[6]
Diawali pidato didepan DPR-RI pada 16 Agustus 1982, dengan mencuatnya Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Organisasi Politik serta Organisasi Masa  dan menadapat Legitimasi melalui ketetapan MPR pada tahun 1983. Hal ini didorong Karena pemerintah melihat masih adanya konflik yang dilandasi pemahaman Ideologi, yang menurutnya dapat menghambat pembangunan dengan ketidak stabilan Politik.
Hal ini mendorong kemerosotan Politik Islam dan Islam Politik, menurut penulis hal ini di dorong oleh merosotnya perolehan suara pada pemilu-pemilu belakangan sebelum tahun 1983,yang mana Puncak kegagalan politik Islam untuk kembali berkiprah dalam pemerintahan adalah ketika pemilu pertama Orde Baru pada 1971 yang membawa kemenangan  mutlak kepada Golkar yang mengantongi 62,80% suara atau 392 kursi. ABRI sebanyak 230 kursi, Utusan Daerah dan Golongan 130 kursi, Partai Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) sebanyak 126 kursi dan partai lain (PNI, Parkindo, Parkat, IPKI dan Murba) memperoleh 42 kursi.[7] Dengan hanya memperoleh jumlah wakil yang kecil, ruang gerak politik Islam sangat terbatas. Sebaliknya kedudukan pemerintah relatif aman untuk menggolkan agenda politiknya di parlemen. Kemenangan mutlak Golkar juga memberikan legitimasi bagi pemerintah dan militer untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan politis.
Kontrol ini kemudian direalisasikan dalam program pengembangan sistem politik hegemonis. Pada Januari 1973, pemerintah memutuskan untuk melakukan restrukturalisasi sistem kepartaian. Dalam struktur politik yang baru ini, seluruh partai, kecuali Golkar, harus bergabung dalam dua partai politik. Keempat partai Islam—NU, Parmusi, PSII dan Perti—digabung dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Sedangkan lima partai lain yang berlatarbelakang nasionalis (PNI, IPKI dan Murba), Kristen Protestan (Parkindo) dan Katolik (Parkat) digabung dalam PDI.17 Selain melakukan pengerucutan jumlah partai-partai, pemerintah juga (dalam hal ini golongan mayoritas anggota parlemen adalah Golkar, wakil ABRI, utusan daerah dan golongan) mengusulkan untuk menyejajarkan aliran kebatinan dengan lima agama yang ada Indonesia, dan dengan mudah mendapat persetujuan.
Peminggiran keterlibatan umat Islam kembali dilakukan dengan diberlakukannya asas tunggal. Sosialisasi Pancasila dengan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dilakukan untuk menghindari terjadinya pertentangan ideologi. Lebih dari itu, menurut pemerintah sikap fanatisme terhadap ideologi akan mudah memancing terjadinya kerawanan dan konflik sosial, seperti yang pernah terjadi di Lapangan Banteng Jakarta ketika terjadi bentrokan antar massa PPP dengan Golkar pada 1982.[8] 
Pada era- 80an juga lahir golongan santri muda yang memilikipermikiran baru tentang bagaimana cara memperoleh simpati pemerintah, golongan baru ini menganalogikanserta memperaktikan  system yang digunakan oleh para wali Islam yang hidup pada masa lalu yang menggunakan pendekatan cultural dalam menyebarkan da’wah Islam.
 Berkembangnya dunia pendidikan telah membuka keran perkembangan daya pikir malului dunia pendidikan, kesempatan pun diberikan kepada golongan baru untuk mengisi dalam pemerintahan karena banyak dari para golongan muda tersebut telah telah mengenyam pendidikan tinggi.
Menurut Effendy ada dua alasan utama mengapa Orde Baru merekrut kaum muslimin, dalam hal ini para aktivis dan cendekiawan muslim. Pertama, dari sudut sosiologis, sejak terbukanya akses pada pendidikan dan aktivitas ekonomi, yang memberikan para cendekiawan banyak kesempatan untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Pulangnya mereka dari menuntut ilmu disertai dengan mobilitas social menjadikan nilai tawar umat Islam semakin tinggi sehingga mereka harus diakomodasi ke dalam struktur negara. Kedua, peningkatan kualitas pendidikan umat Islam serta kemampuan cendekiawan Islam dalam melontarkan gagasan pemikiran Islam sehingga membuat pemerintah tidak mungkin mengabaikan keberadaan mereka, apalagi karena pemikiran-pemikiran tersebut dalam beberapa hal sesuai dengan arah dan kebijakan politik yang dikembangkan Orde Baru.[9]
c.    Lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
Embrio persatuan cendikiawan mulai ada sejak tahun 1964 yang mana di era tersebut merupaka era mulai memuncaknya kekuatan Orde Baru, pendirian Persami ( Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) yang dimotori oleh 100 orang sarjana Muslim yang lebih dari separuhnya dalah alumni aktifis HMI, persatuan ini didirikan di daerah Mega Mendung Bogor, dengan pucuk kepemimpinan HM. Subchan Z.E  (ketua PB. NU) dan H.M Sanusi (anggota PP Muhammadiyah).[10]  Yang apada aeranya telah terdahului oleh persatuan oleh klompok non Muslim dengan pendirian ISKI (Ikatan Sarjana Keristen Indonesia ) pada tahun 1958 dan PIKI ( Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia). Namun persatuan ini pun lumpuh karena konflik internal disamping meninggalnya Sekjen Persami Bintoro Tjkroamidjojo pada tahun 1974.
Denagn lumpuhnya kekuatan persatuan ini, tidak menjadi alas an persatuan cendikiawan untuk mendirikan persatuan kembali, dengan seponsor MUI ( Majlis Ulama Indonesia dan beberapa LSM perguruan tinggi tanggal 26-28 Desember 1984  menyelenggalrakan “pertemuan Ke-1 Cendikiawan Muslim” di Cibogo yang hasil kesepakatan pertemuan tersebut ialh ; (1) pembentukan tim-tim konsultasi Cendikiawan Muslim baik ditingkt Pusat maupun daerah dalam rangka membantu MUI dan lembaga Keagamaan. (2) pem,bentukan berbagi lembag kaijan di bidang Ekonomi, ,masalh agam dan kemasyarakatan, pendidikan zakat dan lemabga keuangan, agama dan adat istiadat teknologi dan pengembangan teknologi dan pengembangan masyarakat etika, dan pengembangan ilmu pengetahuian dan lain-lain.
Hal ini kemudian di susul oleh pertemuan pertemuan selanjutnya dalam rangka mempererat persatuan cendikiawan Muslim dengan pertemuan lokakarya yang diadakan di Ciawi, Bogor pada 8-9 Maret 1986. Disusul dengan Pertemuan Cibogo pada 7-8 Mai 1986, yang hasilnya terbentuk Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKPI). Serta dalam pertemuan ini muncul keingianan untuk membentuk suatu wadah untuk cendikiawan muslim namun tidak terlaliisir karena masih adanya anggapan forum tersebut belum di perlukan.
Pada 25-27 Juli 1986, diadakan lokakarya yang dimotori oleh FKPI, namun pertemuan ini tidak juga memformalkan Ikatan cendikiawan muslim sebagai wadah resmi karena masih adanya keraguan akan persetujuan pemerintah.
Dalam sekup tidak formal, dalam upaya pembentukan persatuan cendikian muslim, M Imadudin Abdulrachim cendikiawan tokoh masjid Salman ITB Bandung, mengumpulakan sekitar 50  oarang cendikiawan muslim pada 1989, namun setelah wadah terentuk resmi langsung dibubarkan kepolisian.
Dari sekian banyak usaha yang diupayakan tercermin tiadak mudahnya m,embentuk wadah cendikiawan muslim. Namun pada 6-8 Desember 1990, diadakn Symposium Nasional Cendikiawan Muslim : Membangun Masyarakat abad XXI di Student Center Universitas Brawijaya Malang,  yang dibuka oleh Presiden Soeharto dan di tutup oleh Wakil Presiden Sudarmono. Symposium ini juga meresmikan kelahiran ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia).
Ternyata hal ini juga merupakan hasil Final dari perrjalanan panjang untuk membuat symposium tersebut, hingga memformalakan ICMI sebagai organisasi cendikiawan muslim.
Dimaulai melalui diskusi kecil Lima tokoh dibalik hadirnya ICMI di masjid  Kampus Universtas Brawijayayang membahas keprihatinan terhadap kondisi umat Islam, dianataranya : Erik Salman, Ali Mudzakir, Mohammad Zainuri, Awang Surya, dan Muhammad Iqbal yang masing-masing merupakan mahasiswa fakultas teknik Universitas Brawijaya. Yang menjadi hasil pertemuan mereka adalah bagaiman caramenghadirkan para cendikiawan muslim untuk berbicara masalah tersebut.
Akhirnya mereka berkonsultasi kepada rector Universitas Brawijaya rektorpun mengantusias pembentukan pertemuan tersebut.namun terkendala biaya rektorpun akhirnya menunda kegiatan tersebut. Namun tidak berhenti disitu merekapun menjadi dukungan dana dengan menghampiri beberapa cendikiawan muslim di beberapa daerah, dan Menristek Bj. Habibie, hal ini disampaikan kepadanya, sekaligus memintanya untuk menjadi pimpinan  pada organisasi tersebut.
Stelah pristiwa tersebut pada awalnya Habibie menolak namun melalui dorongan soeharto ia mau mencalonkan diri ebagai pimpinan ICMI.  Sebelum diadakan symposium tersebut telah ada beberapa pertemuan diantaranya : pertemuan 27 September 1990, di kediaman Bj. Habibie yang intinya perseujuan Soeharto tentang simposiun tersebut.
Pertemuan 28 september 1990, pembentukan tiga tim pembentukan ICMI yakni, Kerangka Acuan disain Simposium, tim anggran dasar, dan tim Program kerja, petemuan 26 oktober 1990 dengan Depag, pelaporan petemuan terbatas tentang pendirian ICMI, 19 November 1990 kantor BPPT,  hingga akhirnya pelaksanaan symposium yag dibuka oleh Presiden soeharto pad 6-8 Desember 1990 yang menjadi awal terbentuknya ICMI sebagai organisasi cendikiawan Muslim. 

B.      Peranan ICMI terhadap Umat Islam
Pasang surut hubungan pemerintah Orde Baru terhadap dunia Islam dari yang bersikap antagonistic ataupun yang bersikap akomodatif telah memberi damapak pada perkerkembangan masyarakat Islam di Indonesia, siakap pemerintah diera 70-an hingga awal 80-an amat mencorakan sikap antagonistic yang menyebabkan kemunduran bagi umat Islam dalam segi politik soasial dan budaya.
Ketidak percayaan pemerintah terhadap masyarakat Islam, dengan mengkaitkan Islam dengan gerakan “Darul Islam”   reaksi keras atas kebijakan pemerintah ini masih tampak,seperti dalam peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984, namun umat Islam menyadari bahwa perlawanan konfrontatif tidak akan berhasil. Untuk ini, kalangan cendikiawan muda melakukan reorientasi terhadap makna politik Islam yang selama ini dielaborasi dalam corak legalitas dan formalitas. Orientasi poltik baru tersebut lebih mengarah kepada politik substantif dan integratif.[11]  Artinya pendekatan baru tersebut lebih mengutamakan kepada aspek kandungan nilai Islam sebagai sumber inspiratif bagi kekuatan politis serta sikap saling menerima dan menyesuaikan antara umat Islam dan Negara.
Kelahiran ICMI sebagai suatu wadah organisasi dengan didekingi generasi baru yang lebih terdidik dikalangan umat telah berdampak pada perkembangan Islam sebagi gerakan kultural walaupun dari segi politik terdapat penurunan namun diluar politik mengalami kemajuan. Perkembangan yang lebih mencolok adalah hilangnya sekat-sekat pemisah antar Ormas dengan lainnya lembaga-lembaga yang tidak lagi membedakan kelompok munculnya ICMI dan BMI  merupakan bukti Kongkrit perubahan itu.[12]
Selian itu hal ini didukung oleh tokoh-tokoh ICMI yang berada di dalam kabinet ke VI tahun 1993-1998 yang mana tokoh-tokoh dari kabinet dapat merubah orientasi pemahan dan kebijakan pemerintah.  Dipelopori oleh tokoh-tokoh ICMI di Kabinet VI (1993-1998), terjadilah perubahan orientasi pemahaman dan kebijakan ekonomi dari pendekatan makro ke pendekatan mikro, dari ekonomi yang liberal ke ekonomi kerakyatan. [13] sehingga Konsep   trickle down effect dari pertumbuhan ke kesejahteraan telah mulai dipertanyakan. Konsep ekonomi rakyat, percepatan pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dan pendekatan keberpihakan, mulai dikembangkan dan diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Yang secara langsung berdampak pada masyarakat secara umum dan umat Islam secara khususnya.
Selain di bidang Ekonomi konsep kemandirian bangsa juga menjadi agenda penting di dunia pendidikan timbulnya sekolah Insan Cendikia sebagai salah satu kontribusi Icmi dalam mencerdaskan Umat, di bidang HAM di hadirkan Lembaga CIDES, lembaga yang membahas tentang HAM.

 PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
A.       Perbangkan Syariah di Indonesaia
a.       Peranan ICMI terhadap Lahirnya Ekonomi Islam
Sebagai wadah cendikiawan muslim yang lahir dari perjalanan panjang, ICMI dalam kehadirannya bermula dari symposium yang bertema Membangun Masyrakat Abad XXI.
Dengan isu yang diangkat  sebagai upaya membangun masyarakat abad dua puluh satu, secara tidak langsung telah menjadikan orientasi ekonomi dalam tubuh ICMI aat Menonjol, disamping kegiatan lain dalam rangka mencerdaskan Umat, seperti pembuatan Masjid serta Perpustakaannnya, pendirian CIDES ( Center for Information  Deplovment Studies), Pewakafat buku   serta lain-lain.
              Bermodalkan kedekatan dengan pemerintah, ICMI dapat mendorong pengambilan keputusan untuk mengembangkan proyek umat disegala bidang kehidupan.  Dibidang Ekonomi Misalnya terbentuk BMI ( Bank Muamalat Indonesia ) dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Selain itu hadir harian Republika. Dan surat izin usaha penerbitan Pers.
              Melihat kapasitasnya ICMI memilki dua fungsi yakni, fungsi politik, dan fungsi keagamaan.[14] Karena secara tidak langsung ICMI memainkan peran tersebut selain bergerak dibidang keagaan namun juga bergerak dibidang politik hal ini dapat dilihat dari lolosnya proyek-proyek dalam mengembangkan Islam.  Hingga akhirnya  segi ekonomi sosial dan pendidikan masyarakat dapat lebih maju.

b.      Perbankan Indonesia
Perbankan di Indonesia di kenal sejak era kolonial Hindia-Belanda dengan Nama De JavasChe Bank  Sejalan dengan perkembangan pemerintahan, dimana disaat kedatangan Jepang perbankan Indonesia  diambil alih oleh pemeritah Jepang Sejalan dengan kemerdekaaan Indonesia yang pada akhirnya menciptakan Bank sentral yang di berinama Jajasan  Poesat Bank Indonesia yang selanjutnya mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI pada tahun 1946) merupakan nasionalisasi dari bank peninggalan Hindia-Belandayaitu : De Javasche Bank, dalam perkembangnnya telah bersama-sama membangun Negara Indonesia dalam bidang perekonomian, 
Tugas Bank Indonesia, adalah mengatur segala macam kebijakan yang menyangkut perbankan Indonesia. Pada awal masa perkembangan Bank sentral Indonesia terdapat beberapa fase diamana Masa 1945-1959 diamana di era tersebut merupakan masa peralihan yang penuh dengan perundingan-perundingan.dan fase selanjutnya adalah fase bank Indonesia yang mana fase tersebut merupakan fase yang didalamnya Bank Indonesia telah memiliki hak penuh sebagai Bank Sentral bagi Negara Republik Indonesia, yang telah memiliki segala hak untuk mengatur segala macam kebijakan yang menyangkut perbankan di Indonesia.
c.       Lahirnya Bank Syariah di Indonesia Modal Awalnya
Yang menjadi tolak ukur  berdirinya bank syriah Di indonesia adalah dengan Lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI ) dengan  ditetapkan UU No.7/1992 Tentang Perbankan, dimana bank bagi hasil diakomodasikan. Pada 1 November 1991 ditandatangani Akte Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan Akte Notaris Yudo Paripurno, S.H. dan izin Menteri Kehakiman No. 2.2413.HT.01.01 serta izin Menteri Keuangan pada tanggal 5 November 1991. Dengan izin usaha yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 24 April 1992, maka BMI mulai beroperasi tanggal 1 Mei 1992. Yang menjadi awal beradanya Bank Syariah Di Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan bank di Indonesia perbankan syariah amatlah paling belakang memberi warna dunia perbankan di Indonesia, terlebih  disaat  pemerinthan orde baru yang terbagi atas beberapa fase tentang hubungannya dengan dunia Islam di Indonesia.
Bank  Syariah,  hadir melalui pergulatan apanjang dimulai dengan inisiatif Majlis Ulama Indonesia  (MUI), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan para tokoh muslim Indonesia dengan mendirikan Bank Muamalat Indonesia.[15]  Yang dirintis sejak lama,  yakni tahun 1980-an.
Dimulai saat aktifis muda Islam melakukan pengkajian tentang ekonomi syariah, bahkan memperaktiknya dengan sekala terbatas antara lain melaui Bait aTanwil salman, Bandung, upaya yang lebih intensif dilakukan pada tahun 1990-an yang mencapai puncaknya pada musyawarah Nasional ke IV Majlis Ulama Indonesia di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990 yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian perbankan Syariah di Indonesia yang dikenalkan dengan tim pertaukan Majlis Ulama Indonesia hasilnya adalah dengan dibentuknya PT. Bank Mualamat Indonesia.  1 November 1990.[16] Dan diperkuat dengan keluarnya Peraturan Presiden / PP. No 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil.
Yang sebelumnya Menristek dan Ketua Umum ICMI, B.J.Habibie yang terlihat paling antusias menyatakan dukungannya terhadap pendirianbank syariah. Segera Habibie menggalang dana pensiun dari tiga industri yang beradadi bawah kendalinya dan berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 63 miliar. Jumlah uang tersebut terus bertambah manakala tim perbankan MUI ini dipanggil oleh Menteri Perindustrian untuk diberikan dana tambahan dari beberapa perusahaan yang pemiliknya kebanyakan bukan orang Islam, termasuk di dalamnya Salim Group. [17]
Menteri Sekretaris Negara yang bertugas untuk menghubungi Presiden Soeharto, kemudian berkenan untuk menerima tim perbankan MUI ini pada 27Agustus 1991. Dalam pertemuan tersebut ternyata Presiden menyambut rencana tersebut dengan antusias dan bersedia dicantumkan sebagai pemrakarsa bank syariah sekaligus memberikan dana Rp. 3 miliar dari kas Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila tanpa bunga dan tanpa batas waktu pengembalian.
Selanjutnya Presiden juga berjanji untuk membantu kekurangan modal awal yang diperlukan untuk pendirian bank syariah ini dengan menggelar sarasehan di Istana Bogor pada 3 Nopember 1991 yang berhasil dihadiri sekitar 4.600 undangan. Para undangan yang hadir saat itu sangat beragam, mulai dari para pedagang kaki lima sampai para menteri dan konglomerat, tak terkecuali pejabat moneter Menkeu, JB. Sumarlin dan Gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy.
Saham yang dijual seharga Rp. 1000 per lembar itu pun dalam waktu dua jam berhasil menyedot dana masyarakat sekitar Rp. 25 miliar. Secara pribadi, Presiden juga membeli saham BMI seharga Rp. 50 juta. Selain keterlibatan Presiden beserta menteri-menterinya tersebut, kehadiran perbankan syariah juga didukung oleh adanya kebijakan deregulasi perbankan tahun 1983 yang telah memberikan keleluasaan penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol persen. Sejak itulah Bank dengan Perinsip syariah berdiri di Indonesia.
Pada perkembangan perbankan Syariah di Indonesia terdapat perkemabangan yang signifikan terlebih setelah reformasi yang mana pada tahun 1998 terbentuk PP  baru tentang Perbangkan Syariah : PP. No. 38 Tahun 1998 selanjutnya keluar  UU No. 10 tahun 1998 tentang  pembolehan Bank Umum menggunakan dua jasa Konvensional dan Syariah  dan puncaknya terjadi yang selajtunya di lanjutkan degan  terbentuknya  UU. No pada tahun 2008 lahir undang-undang perbankan syariah UU. No 21 tahun 2008 yang dalam pengesahannnya terdapat ganjalan dari fraksi Non Islam yang tidak menyetejui dengan di Syahkannya UU perbankan Syariah yang dianggap tidak sesuai dengan ideology Pancasila. Namun UU tersebut dapat disyahkan melalui sidang mufakat yang disetujui mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
d.      Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Dengan hadirnya Bank Muamalat sebagai bank satu-satunya bank syariah era 90-an telah membuka keran akomodatif peran pemerintah terhadap umat Islam, dengan maksud mensejahterakan umat Bank Muamalat telah telah menjadi pioneer yang merintis keberadaan system perbankan  Styariah di Indonesia.
Walaupun perkembangan cukup terlamabt disbanding Negara-negara muslim lainnya. Yang terhitung sejakberdirinya tahun 1992 hingga 1998 Bank syariah belum menampakan perkembangan yang signifikan.
Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.


[1]            Adiwarman A. karim, Bank Islam Analisis Piqh dan Keungan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. 2006. Hal. XXIV

[2]              Sambutan Presiden Republik Indonesia pada acara Festival Ekonomi Syariah tahun 2009,di Jakarta Convention Center.  http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3422&Itemid=26

[3]          A. Ridwan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta : UIN Press, 2009, Hal 76-78.

[4]          Bahtiar Efendy, (Re)politisasi Islam, Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik ?. Bandung: Mizan Media Utama. 2000. Hal 105.

[5]          M. Syafii Anwar. Pemikran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina. 1995. Hal. 28

[6]          Ibid. 110

[7]              Jamhari, 2002, “Islam di Indonesia” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 6,Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, hal. 359.

[8]              Noor Azmah Hidayati Politik akomodasionis Orde Baru Terhadap (Umat) Islam :Telaah Historis Kelahiran Perbankan Syariah, (PDF Internet)

[9]              Bachtiar Effendy, 1998, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, hal. 37-38.

[10]         M. Syafii Anwar. Pemikran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta,: Paramadina. 1995. Hal. 251.

[11]           Noor Azmah Hidayati Politik akomodasionis Orde Baru Terhadap (Umat) Islam :Telaah Historis Kelahiran Perbankan Syariah, (PDF Internet)

[12]         Sudirman Tebba, Islam Orde Baru, Perubahan Politik dan Keagamaan. Yogyakarta: Tcara Wacana, 1993. Hal 27.

[13]           Ginandjar Kartasasmita, Revitalisasi Cendekia, http://koran.republika.co.id/ koran/0/109439/ Revitalisasi_Cendekia

[14]         Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru,. Yogyakarta : Tcara Wacana, 1993. Hal 91.

[15]           A. Ridwan Amin . Perbankan Syariah Sebagai Solusi Perekonommian Nasional.  Jakarta : UIN Press. 2009 Hlm. 24.

[16]         Zubairi Hasan. Undang-Undang Perbankan Syariah,  Jakarta: Rajawali Press.2009. Hlm.  9.

[17]         Noor Azmah Hidayati Politik akomodasionis Orde Baru Terhadap (Umat) Islam :Telaah Historis Kelahiran Perbankan Syariah, (PDF Internet)

No comments:

Post a Comment