Politik Islam dan Islam Politik mengalami pasang surut di era kemerdekaan Indonesia, kebijakan pemerintah terhadap politik Islam amat nampak diera-era baik dalam upaya kemerdekaan hingga era Orde Baru dimana pemerintah terlihat kurang mengkomodasi kepentinggan umat Islam yang mayoritas di Indonesia.
Hingga 1980-an hubungan Negara dengan Islam masih
memperlihat sikap antagonistik namun yang tidak dapat diterima dalam logika
kebencian yang telah terbangun sejak tahun 1965, dan dirasa mulai mendarah
daging mulai mengalami perubahan di tahun-tahun terakhir dekade 1980-an. Di era
orde baru dimana mulai tampak sikap pemerintah yang kurang mengakomodir
kepentingan umat Islam secara jelas, dengan meniadakan Masyumi sebagai sebuah
partai Islam, dilanjutkan dengan diberlakukannya asas tunggal pada tahun 1983.
Namun
memasuki tahun 1990-an perubahan mulai terasa perubahan sikap pemerintah kepada
Islam menjadi lebih akomodatif, Hal ini
terbukti dengan lahirnya UU. No.10 tahun 1992 yang didalamnya terdapat
ketentuan diperbolehkannya bank beroperasi dengan system bagi hasil.[1]
Dari perubahan ini yang amat cepat hanya berselang dua tahun telah merubah
sikap pemerintah yang anta gonistik kerah akomodatif.
Hal yang tampak jelas adalah dengan lahirnya Bank
syariah, Sejarah mencatat dorongan yang kuat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) di akhir Orde Baru telah
membuka pintu lebar-lebar bagi perkembangan ekonomi dan perbankan berbasis
syariah di tanah air. Kita menyaksikan lahirnya baitul maal wat tamwil, yang digagas dan dikembangkan oleh ICMI,
lahirnya Bank Muamalat Indonesia, dan berbagai lembaga keuangan syariah
termasuk asuransi syariah, telah menjadi pemicu perkembangan ekonomi syariah di
negeri kita.[2] Yang sebernarnya jika di analisa secara cepat
tidak memungkinkan mendirikan sebuah Bank yang berbau Islam, terlebih pada
era-era sebelumnya dikatakan bahwa dengan menghadirkan Bank Syariah berdampak
ideologis bagi Negara.
Namun demikian kehadiran Bank Syariah tidak semudah
membalikan telapak tangan, hubungan pemerintah dengan dunia Islam amat
berpengaruh terhadap lahirnya ekonomi syariah di era orde baru. Masalah masa
lalu dan pancasila sebagai suatu ediologi nagara menjadi salah satu perdebatan
penting. Disamping konsep bank syariah dari segi politis juga dianggap berkonotasi
ideologis, merupakan bagian atau berkatan dengan Negara Islam, oleh karena itu
tidak dikhendaki pemerintah “Orde Baru".[3]
A.
Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)
a.
Kebijakan
Pemerintah terhadap Politik Islam
Pasang surut kekuatan
politik Islam tidak lain tidak bukan merupakan suatu yang hadir akibat suatu
kemelut politik yang diakibatkan oleh kebijakan penguasa. Maju mundurnya dapat diartika sebagai kembang kempisnya
akomodasi pemerintah terhadap dunia Islam.
Peranan Islam amat
berpengaruh sejak awal orde baru, disamping kekuatan ABRI dan Mahasiswa. Dalam
rangka mengeliminasi kekuatan Komunis. Pengharapan yang diinginkan kalangan
Islam, agar dapat berbagi kekuasaan dalam pemerintahan, paling tidak demikian
kira-kira kalau argument diteruskan pemerintah baru akan bersedia memperhatikan-
untuk kemudian mengakomodasi –kepentingan social ekononmi dan politik islam.[4]
Namun tidak demikian, permasalahan yang
utama dalam era awal Orde Baru dengan memunculkan Pemasalahan Birokrasi sebagai
alat mengatasi permasalahan dalam rangka mereformasi ekonomi secara radikal,
juga terlaksananya program pemerintah di seluruh wilayah negara agar berfungsi
efektif dan fungsional serta tidak diselewengkan oleh aparat birokrasinya.
Oleh karenanaya orde
baru berupaya menjauhkan Negara dari politik ideologis yang dapat menghambat
kemajuan negara, dengan menggantinya kearah politik yang berorientasi kearah
kedepan. Dengan memodrenisasi kebijakan politik.
Persoalan moderisasi
mendapat respon baik oleh kalangan modernis pada era itu yang pernah
menajabat sebagai fungsionaris partai Masyumi, denngan cara mengizinkan/
merehabilitasi kembali Masyumi berdiri kembali setelah dibubarkan oleh
Soekarno. Namun upaya ini tidak berjalan dengan mulus dengan adanya keberatan
dari pihak ABRI dengan mengeluarkan
pernyataan pada 12 Desember 1966, dengan pernyataan akan bertindak tegas
terhadap siapapun, pihak manapun serta golongan manapun untuk menyimpang dari
Pancasila dan UUD 1945. Seperri tindakan PKI Darul Islam, dan Masyumi serta
Partai Sosialis Indonesia.
Dengan pernyataan ini Masyumi, melaui Prawoto
Mangkusaswito selaku tokoh Masyumi, menyatakan sikap agar tidak
menyatunafasakan Masyumi dengan PKI dengan mengirim surat kepada Ketua
Presidium Kabinet Jendral Suharto.[5]
Surat ini tidak menadapat respon yang baik dengan balasan dari Soeharto, ini
merupakan Statement pendirian yang
diambil ABRI, namun demikian lobi-lobi
dilakukan demi melicinkan jalan untuk merehabilitasi Masyumi dengan mendukung
Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM). Dengan demikian Tokoh Masyumi mengajukan
Pendirian Parmusi (Partai Muslimin Indonesia
pada 7 April 1967, pendirian partai ini di izinkan dengan catatan tokoh
teras Masyumi tidak boleh menjadi fungsionaris partai. Dan barulah pada 20
Februari 1968 Parmusi dilegalkan sebagai sebuah partai.
Dengan upaya Repolitisasi Islam ini ternyata
berdampak pada pemarjinalan Islam di
karenakan orientasinya terhadap pendirian partai Islam tidak seperti golongan
diluar Islam yang mengambil kesepatan untuk merespon positif serta dukungan
terhadap Orde Baru.
b.
Perkembangan
Politik Islam
Dalam menanggapi
kebijakan politik pemerintah, banyak jalan yang dilakukan baik secara politis
maupun cara lain dalam rangka memajukan kepentingan Islam. Dekade 80-an
merupakan era dimana Orde Baru berusaha secara ofensif dalam kebijakan
politiknya dalam rangka penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kekuatan
politik dan organisasi Masa. Kebijakan ini merupakan kulminasi dari serangkaian
kebijakan politik yang dilakukan perintah dalam kurun waktu 1966-1985.[6]
Diawali pidato didepan
DPR-RI pada 16 Agustus 1982, dengan mencuatnya Asas Pancasila sebagai
satu-satunya asas bagi Organisasi Politik serta Organisasi Masa dan menadapat Legitimasi melalui ketetapan
MPR pada tahun 1983. Hal ini didorong Karena pemerintah melihat masih adanya
konflik yang dilandasi pemahaman Ideologi, yang menurutnya dapat menghambat
pembangunan dengan ketidak stabilan Politik.
Hal ini mendorong
kemerosotan Politik Islam dan Islam Politik, menurut penulis hal ini di dorong
oleh merosotnya perolehan suara pada pemilu-pemilu belakangan sebelum tahun
1983,yang mana Puncak kegagalan politik Islam untuk kembali berkiprah dalam
pemerintahan adalah ketika pemilu pertama Orde Baru pada 1971 yang membawa
kemenangan mutlak kepada Golkar yang
mengantongi 62,80% suara atau 392 kursi. ABRI sebanyak 230 kursi, Utusan Daerah
dan Golongan 130 kursi, Partai Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) sebanyak 126
kursi dan partai lain (PNI, Parkindo, Parkat, IPKI dan Murba) memperoleh 42
kursi.[7]
Dengan hanya memperoleh jumlah wakil yang kecil, ruang gerak politik Islam
sangat terbatas. Sebaliknya kedudukan pemerintah relatif aman untuk menggolkan
agenda politiknya di parlemen. Kemenangan mutlak Golkar juga memberikan
legitimasi bagi pemerintah dan militer untuk melakukan kontrol terhadap
kehidupan politis.
Kontrol ini kemudian
direalisasikan dalam program pengembangan sistem politik hegemonis. Pada
Januari 1973, pemerintah memutuskan untuk melakukan restrukturalisasi sistem
kepartaian. Dalam struktur politik yang baru ini, seluruh partai, kecuali
Golkar, harus bergabung dalam dua partai politik. Keempat partai Islam—NU, Parmusi,
PSII dan Perti—digabung dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Sedangkan lima partai
lain yang berlatarbelakang nasionalis (PNI, IPKI dan Murba), Kristen Protestan
(Parkindo) dan Katolik (Parkat) digabung dalam PDI.17 Selain melakukan
pengerucutan jumlah partai-partai, pemerintah juga (dalam hal ini golongan
mayoritas anggota parlemen adalah Golkar, wakil ABRI, utusan daerah dan
golongan) mengusulkan untuk menyejajarkan aliran kebatinan dengan lima agama
yang ada Indonesia, dan dengan mudah mendapat persetujuan.
Peminggiran
keterlibatan umat Islam kembali dilakukan dengan diberlakukannya asas tunggal.
Sosialisasi Pancasila dengan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) dilakukan untuk menghindari terjadinya pertentangan ideologi. Lebih
dari itu, menurut pemerintah sikap fanatisme terhadap ideologi akan mudah
memancing terjadinya kerawanan dan konflik sosial, seperti yang pernah terjadi
di Lapangan Banteng Jakarta ketika terjadi bentrokan antar massa PPP dengan
Golkar pada 1982.[8]
Pada era- 80an juga
lahir golongan santri muda yang memilikipermikiran baru tentang bagaimana cara
memperoleh simpati pemerintah, golongan baru ini menganalogikanserta
memperaktikan system yang digunakan oleh
para wali Islam yang hidup pada masa lalu yang menggunakan pendekatan cultural
dalam menyebarkan da’wah Islam.
Berkembangnya dunia pendidikan telah membuka
keran perkembangan daya pikir malului dunia pendidikan, kesempatan pun
diberikan kepada golongan baru untuk mengisi dalam pemerintahan karena banyak
dari para golongan muda tersebut telah telah mengenyam pendidikan tinggi.
Menurut Effendy ada dua
alasan utama mengapa Orde Baru merekrut kaum muslimin, dalam hal ini para
aktivis dan cendekiawan muslim. Pertama,
dari sudut sosiologis, sejak terbukanya akses pada pendidikan dan aktivitas
ekonomi, yang memberikan para cendekiawan banyak kesempatan untuk menempuh
pendidikan di luar negeri. Pulangnya mereka dari menuntut ilmu disertai dengan
mobilitas social menjadikan nilai tawar umat Islam semakin tinggi sehingga
mereka harus diakomodasi ke dalam struktur negara. Kedua, peningkatan kualitas pendidikan umat Islam serta kemampuan
cendekiawan Islam dalam melontarkan gagasan pemikiran Islam sehingga membuat
pemerintah tidak mungkin mengabaikan keberadaan mereka, apalagi karena
pemikiran-pemikiran tersebut dalam beberapa hal sesuai dengan arah dan
kebijakan politik yang dikembangkan Orde Baru.[9]
c.
Lahirnya
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
Embrio persatuan
cendikiawan mulai ada sejak tahun 1964 yang mana di era tersebut merupaka era
mulai memuncaknya kekuatan Orde Baru, pendirian Persami ( Persatuan Sarjana
Muslim Indonesia) yang dimotori oleh 100 orang sarjana Muslim yang lebih dari
separuhnya dalah alumni aktifis HMI, persatuan ini didirikan di daerah Mega
Mendung Bogor, dengan pucuk kepemimpinan HM. Subchan Z.E (ketua PB. NU) dan H.M Sanusi (anggota PP
Muhammadiyah).[10] Yang apada aeranya telah terdahului oleh
persatuan oleh klompok non Muslim dengan pendirian ISKI (Ikatan Sarjana
Keristen Indonesia ) pada tahun 1958 dan PIKI ( Persatuan Intelegensia Kristen
Indonesia). Namun persatuan ini pun lumpuh karena konflik internal disamping
meninggalnya Sekjen Persami Bintoro Tjkroamidjojo pada tahun 1974.
Denagn lumpuhnya
kekuatan persatuan ini, tidak menjadi alas an persatuan cendikiawan untuk
mendirikan persatuan kembali, dengan seponsor MUI ( Majlis Ulama Indonesia dan
beberapa LSM perguruan tinggi tanggal 26-28 Desember 1984 menyelenggalrakan “pertemuan Ke-1 Cendikiawan
Muslim” di Cibogo yang hasil kesepakatan pertemuan tersebut ialh ; (1) pembentukan
tim-tim konsultasi Cendikiawan Muslim baik ditingkt Pusat maupun daerah dalam
rangka membantu MUI dan lembaga Keagamaan. (2) pem,bentukan berbagi lembag
kaijan di bidang Ekonomi, ,masalh agam dan kemasyarakatan, pendidikan zakat dan
lemabga keuangan, agama dan adat istiadat teknologi dan pengembangan teknologi
dan pengembangan masyarakat etika, dan pengembangan ilmu pengetahuian dan
lain-lain.
Hal ini kemudian di
susul oleh pertemuan pertemuan selanjutnya dalam rangka mempererat persatuan
cendikiawan Muslim dengan pertemuan lokakarya yang diadakan di Ciawi, Bogor
pada 8-9 Maret 1986. Disusul dengan Pertemuan Cibogo pada 7-8 Mai 1986, yang
hasilnya terbentuk Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKPI). Serta dalam
pertemuan ini muncul keingianan untuk membentuk suatu wadah untuk cendikiawan
muslim namun tidak terlaliisir karena masih adanya anggapan forum tersebut
belum di perlukan.
Pada 25-27 Juli 1986,
diadakan lokakarya yang dimotori oleh FKPI, namun pertemuan ini tidak juga
memformalkan Ikatan cendikiawan muslim sebagai wadah resmi karena masih adanya
keraguan akan persetujuan pemerintah.
Dalam sekup tidak
formal, dalam upaya pembentukan persatuan cendikian muslim, M Imadudin
Abdulrachim cendikiawan tokoh masjid Salman ITB Bandung, mengumpulakan sekitar
50 oarang cendikiawan muslim pada 1989,
namun setelah wadah terentuk resmi langsung dibubarkan kepolisian.
Dari sekian banyak
usaha yang diupayakan tercermin tiadak mudahnya m,embentuk wadah cendikiawan
muslim. Namun pada 6-8 Desember 1990, diadakn Symposium Nasional Cendikiawan
Muslim : Membangun Masyarakat abad XXI di Student Center Universitas Brawijaya
Malang, yang dibuka oleh Presiden
Soeharto dan di tutup oleh Wakil Presiden Sudarmono. Symposium ini juga
meresmikan kelahiran ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia).
Ternyata hal ini juga
merupakan hasil Final dari perrjalanan panjang untuk membuat symposium
tersebut, hingga memformalakan ICMI sebagai organisasi cendikiawan muslim.
Dimaulai melalui
diskusi kecil Lima tokoh dibalik hadirnya ICMI di masjid Kampus Universtas Brawijayayang membahas
keprihatinan terhadap kondisi umat Islam, dianataranya : Erik Salman, Ali
Mudzakir, Mohammad Zainuri, Awang Surya, dan Muhammad Iqbal yang masing-masing
merupakan mahasiswa fakultas teknik Universitas Brawijaya. Yang menjadi hasil
pertemuan mereka adalah bagaiman caramenghadirkan para cendikiawan muslim untuk
berbicara masalah tersebut.
Akhirnya mereka
berkonsultasi kepada rector Universitas Brawijaya rektorpun mengantusias
pembentukan pertemuan tersebut.namun terkendala biaya rektorpun akhirnya
menunda kegiatan tersebut. Namun tidak berhenti disitu merekapun menjadi
dukungan dana dengan menghampiri beberapa cendikiawan muslim di beberapa
daerah, dan Menristek Bj. Habibie, hal ini disampaikan kepadanya, sekaligus
memintanya untuk menjadi pimpinan pada
organisasi tersebut.
Stelah pristiwa
tersebut pada awalnya Habibie menolak namun melalui dorongan soeharto ia mau
mencalonkan diri ebagai pimpinan ICMI.
Sebelum diadakan symposium tersebut telah ada beberapa pertemuan
diantaranya : pertemuan 27 September 1990, di kediaman Bj. Habibie yang intinya
perseujuan Soeharto tentang simposiun tersebut.
Pertemuan 28 september
1990, pembentukan tiga tim pembentukan ICMI yakni, Kerangka Acuan disain
Simposium, tim anggran dasar, dan tim Program kerja, petemuan 26 oktober 1990
dengan Depag, pelaporan petemuan terbatas tentang pendirian ICMI, 19 November
1990 kantor BPPT, hingga akhirnya
pelaksanaan symposium yag dibuka oleh Presiden soeharto pad 6-8 Desember 1990
yang menjadi awal terbentuknya ICMI sebagai organisasi cendikiawan Muslim.
B.
Peranan
ICMI terhadap Umat Islam
Pasang
surut hubungan pemerintah Orde Baru terhadap dunia Islam dari yang bersikap
antagonistic ataupun yang bersikap akomodatif telah memberi damapak pada
perkerkembangan masyarakat Islam di Indonesia, siakap pemerintah diera 70-an
hingga awal 80-an amat mencorakan sikap antagonistic yang menyebabkan
kemunduran bagi umat Islam dalam segi politik soasial dan budaya.
Ketidak
percayaan pemerintah terhadap masyarakat Islam, dengan mengkaitkan Islam dengan
gerakan “Darul Islam” reaksi keras atas kebijakan pemerintah ini
masih tampak,seperti dalam peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984,
namun umat Islam menyadari bahwa perlawanan konfrontatif tidak akan berhasil.
Untuk ini, kalangan cendikiawan muda melakukan reorientasi terhadap makna
politik Islam yang selama ini dielaborasi dalam corak legalitas dan formalitas.
Orientasi poltik baru tersebut lebih mengarah kepada politik substantif dan
integratif.[11] Artinya pendekatan baru tersebut lebih
mengutamakan kepada aspek kandungan nilai Islam sebagai sumber inspiratif bagi
kekuatan politis serta sikap saling menerima dan menyesuaikan antara umat Islam
dan Negara.
Kelahiran
ICMI sebagai suatu wadah organisasi dengan didekingi generasi baru yang lebih
terdidik dikalangan umat telah berdampak pada perkembangan Islam sebagi gerakan
kultural walaupun dari segi politik terdapat penurunan namun diluar politik
mengalami kemajuan. Perkembangan yang lebih mencolok adalah hilangnya
sekat-sekat pemisah antar Ormas dengan lainnya lembaga-lembaga yang tidak lagi
membedakan kelompok munculnya ICMI dan BMI
merupakan bukti Kongkrit perubahan itu.[12]
Selian
itu hal ini didukung oleh tokoh-tokoh ICMI yang berada di dalam kabinet ke VI
tahun 1993-1998 yang mana tokoh-tokoh dari kabinet dapat merubah orientasi
pemahan dan kebijakan pemerintah.
Dipelopori oleh tokoh-tokoh ICMI di Kabinet VI (1993-1998), terjadilah
perubahan orientasi pemahaman dan kebijakan ekonomi dari pendekatan makro ke
pendekatan mikro, dari ekonomi yang liberal ke ekonomi kerakyatan. [13]
sehingga Konsep trickle down effect dari pertumbuhan ke
kesejahteraan telah mulai dipertanyakan. Konsep ekonomi rakyat, percepatan
pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dan pendekatan
keberpihakan, mulai dikembangkan dan diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan
pembangunan. Yang secara langsung berdampak pada masyarakat secara umum dan
umat Islam secara khususnya.
Selain
di bidang Ekonomi konsep kemandirian bangsa juga menjadi agenda penting di
dunia pendidikan timbulnya sekolah Insan Cendikia sebagai salah satu kontribusi
Icmi dalam mencerdaskan Umat, di bidang HAM di hadirkan Lembaga CIDES, lembaga
yang membahas tentang HAM.
PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
A.
Perbangkan Syariah di Indonesaia
a.
Peranan
ICMI terhadap Lahirnya Ekonomi Islam
Sebagai wadah cendikiawan muslim yang lahir dari
perjalanan panjang, ICMI dalam kehadirannya bermula dari symposium yang bertema
Membangun Masyrakat Abad XXI.
Dengan isu yang diangkat sebagai upaya membangun masyarakat abad dua
puluh satu, secara tidak langsung telah menjadikan orientasi ekonomi dalam
tubuh ICMI aat Menonjol, disamping kegiatan lain dalam rangka mencerdaskan
Umat, seperti pembuatan Masjid serta Perpustakaannnya, pendirian CIDES ( Center
for Information Deplovment Studies),
Pewakafat buku serta lain-lain.
Bermodalkan kedekatan dengan pemerintah, ICMI dapat
mendorong pengambilan keputusan untuk mengembangkan proyek umat disegala bidang
kehidupan. Dibidang Ekonomi Misalnya
terbentuk BMI ( Bank Muamalat Indonesia ) dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
Selain itu hadir harian Republika. Dan surat izin usaha penerbitan Pers.
Melihat kapasitasnya ICMI memilki dua fungsi yakni,
fungsi politik, dan fungsi keagamaan.[14]
Karena secara tidak langsung ICMI memainkan peran tersebut selain bergerak
dibidang keagaan namun juga bergerak dibidang politik hal ini dapat dilihat
dari lolosnya proyek-proyek dalam mengembangkan Islam. Hingga akhirnya segi ekonomi sosial dan pendidikan masyarakat
dapat lebih maju.
b.
Perbankan
Indonesia
Perbankan
di Indonesia di kenal sejak era kolonial Hindia-Belanda dengan Nama De JavasChe
Bank Sejalan dengan perkembangan
pemerintahan, dimana disaat kedatangan Jepang perbankan Indonesia diambil alih oleh pemeritah Jepang Sejalan
dengan kemerdekaaan Indonesia yang pada akhirnya menciptakan Bank sentral yang
di berinama Jajasan Poesat Bank
Indonesia yang selanjutnya mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI pada tahun
1946) merupakan nasionalisasi dari bank peninggalan Hindia-Belandayaitu : De
Javasche Bank, dalam perkembangnnya telah bersama-sama membangun Negara
Indonesia dalam bidang perekonomian,
Tugas
Bank Indonesia, adalah mengatur segala macam kebijakan yang menyangkut
perbankan Indonesia. Pada awal masa perkembangan Bank sentral Indonesia
terdapat beberapa fase diamana Masa 1945-1959 diamana di era tersebut merupakan
masa peralihan yang penuh dengan perundingan-perundingan.dan fase selanjutnya
adalah fase bank Indonesia yang mana fase tersebut merupakan fase yang
didalamnya Bank Indonesia telah memiliki hak penuh sebagai Bank Sentral bagi
Negara Republik Indonesia, yang telah memiliki segala hak untuk mengatur segala
macam kebijakan yang menyangkut perbankan di Indonesia.
c.
Lahirnya
Bank Syariah di Indonesia Modal Awalnya
Yang menjadi
tolak ukur berdirinya bank syriah Di
indonesia adalah dengan Lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI ) dengan ditetapkan UU No.7/1992 Tentang Perbankan,
dimana bank bagi hasil diakomodasikan. Pada 1 November 1991 ditandatangani Akte
Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan Akte Notaris Yudo Paripurno,
S.H. dan izin Menteri Kehakiman No. 2.2413.HT.01.01 serta izin Menteri Keuangan
pada tanggal 5 November 1991. Dengan izin usaha yang dikeluarkan berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan tanggal 24 April 1992, maka BMI mulai beroperasi
tanggal 1 Mei 1992. Yang menjadi awal beradanya Bank Syariah Di Indonesia.
Sejalan dengan
perkembangan bank di Indonesia perbankan syariah amatlah paling belakang
memberi warna dunia perbankan di Indonesia, terlebih disaat
pemerinthan orde baru yang terbagi atas beberapa fase tentang
hubungannya dengan dunia Islam di Indonesia.
Bank Syariah,
hadir melalui pergulatan apanjang dimulai dengan inisiatif Majlis Ulama
Indonesia (MUI), Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia (ICMI) dan para tokoh muslim Indonesia dengan mendirikan Bank
Muamalat Indonesia.[15] Yang dirintis sejak lama, yakni tahun 1980-an.
Dimulai saat aktifis
muda Islam melakukan pengkajian tentang ekonomi syariah, bahkan memperaktiknya
dengan sekala terbatas antara lain melaui Bait aTanwil salman, Bandung, upaya
yang lebih intensif dilakukan pada tahun 1990-an yang mencapai puncaknya pada
musyawarah Nasional ke IV Majlis Ulama Indonesia di Jakarta pada 22-25 Agustus
1990 yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian
perbankan Syariah di Indonesia yang dikenalkan dengan tim pertaukan Majlis
Ulama Indonesia hasilnya adalah dengan dibentuknya PT. Bank Mualamat
Indonesia. 1 November 1990.[16]
Dan diperkuat dengan keluarnya Peraturan Presiden / PP. No 72 tahun 1992
tentang bank bagi hasil.
Yang
sebelumnya Menristek dan Ketua Umum ICMI, B.J.Habibie yang terlihat paling
antusias menyatakan dukungannya terhadap pendirianbank syariah. Segera Habibie
menggalang dana pensiun dari tiga industri yang beradadi bawah kendalinya dan
berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 63 miliar. Jumlah uang tersebut terus
bertambah manakala tim perbankan MUI ini dipanggil oleh Menteri Perindustrian
untuk diberikan dana tambahan dari beberapa perusahaan yang pemiliknya
kebanyakan bukan orang Islam, termasuk di dalamnya Salim Group. [17]
Menteri
Sekretaris Negara yang bertugas untuk menghubungi Presiden Soeharto, kemudian
berkenan untuk menerima tim perbankan MUI ini pada 27Agustus 1991. Dalam
pertemuan tersebut ternyata Presiden menyambut rencana tersebut dengan antusias
dan bersedia dicantumkan sebagai pemrakarsa bank syariah sekaligus memberikan
dana Rp. 3 miliar dari kas Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila tanpa bunga dan
tanpa batas waktu pengembalian.
Selanjutnya
Presiden juga berjanji untuk membantu kekurangan modal awal yang diperlukan
untuk pendirian bank syariah ini dengan menggelar sarasehan di Istana Bogor
pada 3 Nopember 1991 yang berhasil dihadiri sekitar 4.600 undangan. Para
undangan yang hadir saat itu sangat beragam, mulai dari para pedagang kaki lima
sampai para menteri dan konglomerat, tak terkecuali pejabat moneter Menkeu, JB.
Sumarlin dan Gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy.
Saham
yang dijual seharga Rp. 1000 per lembar itu pun dalam waktu dua jam berhasil
menyedot dana masyarakat sekitar Rp. 25 miliar. Secara pribadi, Presiden juga
membeli saham BMI seharga Rp. 50 juta. Selain keterlibatan Presiden beserta
menteri-menterinya tersebut, kehadiran perbankan syariah juga didukung oleh adanya
kebijakan deregulasi perbankan tahun 1983 yang telah memberikan keleluasaan
penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol persen. Sejak itulah Bank dengan
Perinsip syariah berdiri di Indonesia.
Pada
perkembangan perbankan Syariah di Indonesia terdapat perkemabangan yang
signifikan terlebih setelah reformasi yang mana pada tahun 1998 terbentuk
PP baru tentang Perbangkan Syariah : PP.
No. 38 Tahun 1998 selanjutnya keluar UU
No. 10 tahun 1998 tentang pembolehan
Bank Umum menggunakan dua jasa Konvensional dan Syariah dan puncaknya terjadi yang selajtunya di
lanjutkan degan terbentuknya UU. No pada tahun 2008 lahir undang-undang
perbankan syariah UU. No 21 tahun 2008 yang dalam pengesahannnya terdapat
ganjalan dari fraksi Non Islam yang tidak menyetejui dengan di Syahkannya UU
perbankan Syariah yang dianggap tidak sesuai dengan ideology Pancasila. Namun
UU tersebut dapat disyahkan melalui sidang mufakat yang disetujui mayoritas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
d.
Perkembangan
Perbankan Syariah di Indonesia
Dengan hadirnya Bank Muamalat sebagai bank
satu-satunya bank syariah era 90-an telah membuka keran akomodatif peran
pemerintah terhadap umat Islam, dengan maksud mensejahterakan umat Bank
Muamalat telah telah menjadi pioneer yang merintis keberadaan system
perbankan Styariah di Indonesia.
Walaupun perkembangan cukup terlamabt disbanding
Negara-negara muslim lainnya. Yang terhitung sejakberdirinya tahun 1992 hingga
1998 Bank syariah belum menampakan perkembangan yang signifikan.
Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain,
yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah
Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan
Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank
Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah,
yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan
BPD Aceh.
[1]
Adiwarman A. karim, Bank Islam Analisis
Piqh dan Keungan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. 2006. Hal. XXIV
[2] Sambutan
Presiden Republik Indonesia pada acara Festival Ekonomi Syariah tahun 2009,di Jakarta Convention Center.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3422&Itemid=26
[4] Bahtiar
Efendy, (Re)politisasi Islam, Pernahkan
Islam Berhenti Berpolitik ?. Bandung: Mizan Media Utama. 2000. Hal 105.
[7] Jamhari, 2002, “Islam di Indonesia” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid
6,Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, hal. 359.
[8] Noor Azmah Hidayati Politik
akomodasionis Orde Baru Terhadap (Umat) Islam :Telaah Historis Kelahiran
Perbankan Syariah, (PDF Internet)
[9] Bachtiar Effendy, 1998, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, hal. 37-38.
[11] Noor Azmah Hidayati Politik akomodasionis Orde Baru Terhadap (Umat) Islam :Telaah Historis
Kelahiran Perbankan Syariah, (PDF Internet)
[12] Sudirman
Tebba, Islam Orde Baru, Perubahan Politik
dan Keagamaan. Yogyakarta: Tcara Wacana, 1993. Hal 27.
[13] Ginandjar Kartasasmita, Revitalisasi Cendekia, http://koran.republika.co.id/
koran/0/109439/ Revitalisasi_Cendekia
[15]
A. Ridwan Amin . Perbankan Syariah Sebagai Solusi Perekonommian Nasional. Jakarta : UIN Press. 2009 Hlm. 24.
[17] Noor
Azmah Hidayati Politik akomodasionis Orde
Baru Terhadap (Umat) Islam :Telaah Historis Kelahiran Perbankan Syariah,
(PDF Internet)
No comments:
Post a Comment